Pada undang – undang no. 36 Pasal 1 dinyatakan :
1.
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,
gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau
sistem elektromagnetik Iainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
Undang-undang
Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan
telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis
dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan
pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar
kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta
meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan
perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat
mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan
telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam
penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan
teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan
penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian
dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah
merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor
swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penquasaan teknologi
telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat. Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat
internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai
salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi,
telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Sebagai
negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar
kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan
multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan
diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services
(GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan
telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global,
yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak
diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pada UU No. 36 tentang Telekomunikasi
II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta
meningkatkan hubungan antarbangsa.
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1)
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi:
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang menyimpangdari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e.
melakukan pemeriksaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g.
menyegel dan/atau menyita alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang
digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3)
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang
siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat
(2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat
(1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat
(1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa
memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai
dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling
lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan
dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal
52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal
51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah
kejahatan.
Dari semua pembahasan di atas maka kesimpulan yang
dapat saya ambil bahwa undang-undang no 36 tidak mempunyai keterbatasan
jadi siapa saja boleh mengirimkan dan menerima segala bentuk informasi
dan dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dunia
telkomunikasi diatur pada pasal 22 dengan itu masyarakat dapat menikmati
telekomunikasi dengan baik dan nyaman.
sumber :
http://andryandutagama.blogspot.nl/2015/06/undang-undang-nomor-36-tentang.html
http://hadirwong.blogspot.com/2013/04/penjelasan-uu-no36-tentang.html
http://www.scribd.com/doc/30814218/UU-No-36-Th-1999-Tentang-Telekomunikasi-Penjelasan
http://komukblangsak.wordpress.com/2012/12/05/bab-vii-uu-no-36-telekomunikasi-berisikan-azas-dan-tujuan-telekomunikasi/
Rabu, 20 April 2016
UUD NO 19 TENTANG HAK CIPTA KETENTUAN UMUM, LINGKUP HAK CIPTA, PERLINDUNGAN, PEMBATASAN HAK CIPTA, DAN PROSEDUR PENDAFTARAN HAKI
Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Kemudian yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a.Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
c. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
d. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime.
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta, seni batik.
f. Fotografi dan Sinematografi.
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8, Yaitu :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2, Yaitu :
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer (software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
4. Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
5. Prosedur Pendaftaran HAKI
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35 bahwa pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) yang kini berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HAKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HAKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HAKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
https://ikiriandy.wordpress.com/2015/05/08/ketentuan-umum-pada-uu-no-19-tentang-hak-cipta/
http://boimzenji.blogspot.nl/2013/04/uud-no-19-tentang-hak-cipta-ketentuan.html
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Kemudian yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a.Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
c. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
d. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime.
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta, seni batik.
f. Fotografi dan Sinematografi.
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8, Yaitu :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2, Yaitu :
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer (software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
4. Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
5. Prosedur Pendaftaran HAKI
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35 bahwa pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) yang kini berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HAKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HAKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HAKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
https://ikiriandy.wordpress.com/2015/05/08/ketentuan-umum-pada-uu-no-19-tentang-hak-cipta/
http://boimzenji.blogspot.nl/2013/04/uud-no-19-tentang-hak-cipta-ketentuan.html
Peraturan & Regulasi "Perbandingan cyber Law , Computer Crime Act ( Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber crime"
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace)
tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas
ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika
seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah
perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan)
sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet.
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
sumber :
http://ririndisini.wordpress.com/2011/03/22/peraturanregulasi-perbedaan-cyber-law-di-beberapa-negara/
https://maxdy1412.wordpress.com/2010/05/01/perbandingan-cyber-law-indonesia-computer-crime-act-malaysia-council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
http://obyramadhani.wordpress.com/2010/04/14/council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
https://arisandi21.wordpress.com/2012/12/04/80/
Teknologi digital yang digunakan untuk
mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam
hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna
seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan
dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya.
Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki
kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi
keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah
wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen “asli” dan
“salinan” memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang “asli”? Apakah
dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau
dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita
memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda
tangan untuk meyakinkan keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan
konvensional ke dunia digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang
di-scan, atau dengan kata lain menggunakan digitized signature?
Apa bedanya digitized signature dengan digital signature
dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk
memastikan identitas. Apakah memang digital identity seorang
manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita
menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri kita dengan lebih
akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital
certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan
yang berbeda-beda tentunya)?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya
pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi,
apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber,
sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil
atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity
– komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur,
etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari
(aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas
di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau apakah kita dapat menggunakan dan
menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?
Kata “cyber” berasal dari
“cybernetics,” yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan
komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener
merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu
mendapat tekanan karena tujuannya adalah “total control.” Jadi agak aneh jika
asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan
tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet.
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
·
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan,
Pemerasan.
·
Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan, Berita
kebencian dan permusuhan.
·
Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
·
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin,
Cracking.
·
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan
Informasi.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyber law ini yang terkait
dengan terotori. Misalkan, seorang cracker dari sebuah Negara Eropa melakukan
pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah satu pendekatan yang
diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka
Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang dapat dilakukan adalah
menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia
kehilangan kesempatan/ hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cyber
crime (Eropa)
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related
crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang
berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini
berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota
beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime
tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran
penting dalam kejahatan tersebut.Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1. Melakukan
modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan
dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
2. Meningkatkan
sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
3. Meningkatkan
pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan,
investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
4. Meningkatkan
kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah
kejahatan tersebut terjadi
5. Meningkatkan
kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam
upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan
mutual assistance treaties
sumber :
http://ririndisini.wordpress.com/2011/03/22/peraturanregulasi-perbedaan-cyber-law-di-beberapa-negara/
https://maxdy1412.wordpress.com/2010/05/01/perbandingan-cyber-law-indonesia-computer-crime-act-malaysia-council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
http://obyramadhani.wordpress.com/2010/04/14/council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
https://arisandi21.wordpress.com/2012/12/04/80/
perbandingan cyber Law , Computer Crime Act ( Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber crime
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
sumber :
http://ririndisini.wordpress.com/2011/03/22/peraturanregulasi-perbedaan-cyber-law-di-beberapa-negara/
http://obyramadhani.wordpress.com/2010/04/14/council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
https://arisandi21.wordpress.com/2012/12/04/80/
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
- Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
- Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan, Berita kebencian dan permusuhan.
- Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
- Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
- Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
- Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
- Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
- Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
sumber :
http://ririndisini.wordpress.com/2011/03/22/peraturanregulasi-perbedaan-cyber-law-di-beberapa-negara/
http://obyramadhani.wordpress.com/2010/04/14/council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
https://arisandi21.wordpress.com/2012/12/04/80/
Langganan:
Postingan (Atom)